Bagi  mereka yang baru berkenalan dengan seni batik, perlulah kiranya diberi  penjelasan singkat mengenai cara membatik menurut proses tradisional  sehingga akan timbul pengertian serta tanggapan mengenai batik. Kalau  hanya melihat pola semata-mata atau melihat kain batik yang sudah jadi,  orang tidak akan dapat mengerti dan menginsyafi betapa banyak serta  rumitnya pekerjaan yang dibutuhkan untuk membuat sehelai batik. Orang  pun tidak akan dapat menduga faktor-faktor teknis dan bukan teknis yang  menyebabkan mengapa dalam seni batik tulis terdapat unsur surprise  yang mengakibatkan bahwa setiap karya batik akan berbeda dari yang lain walaupun pola dan komposisi-warnanya dibuat persis sama.
Inti  dasar dari proses batik adalah cara ‘penutupan’ permukaan bahan dasar,  kain mori putih, dengan menitikkan lilin cair yang panas. Di waktu  lampau bahan dasar itu berupa mori atau kain putih halus, sedang dewasa  ini berbagai macam bahan dasar dapat dipakai untuk membatik, misalnya  saja sutera, wol, bahkan sampai pada kulit. Panjang bahan pun sudah  berbeda dengan jaman dahulu. Untuk pakaian tradisional dipakai  potongan-potongan yang tidak lebih dari 2 sampai 3 meter, sedang  sekarang ini sudah bias produksi sepanjang 30 meter sekaligus.
Sebagai  bahan ‘penutup’ semula dipakai lilin lebah murni. Tetapi karena semakin  langkanya bahan tersebut, mulailah dipakai lilin hasil industri  perminyakan, yaitu paraffine. Bahan lilin ini kemudian dicampur dengan berbagai ramuan bahan getah (resin) sebelum dipergunakan sebagai ‘penutup’, baik batik tulis maupun batik cap.
    Para  pembatik yang sudah berpengalaman mengetahui kebutuhan suhu lilin yang  akan dipakainya. Kalau api terlalu besar, lilin akan terlalu menyebar.  Sebaliknya kalau api terlalu dingin, lilin akan kental dan  sukar keluar dari mulut canting. Sampai sekarang ini masih dipakai wajan  kecil di atas api kompor minyak tanah (dahulu api arang kayu) untuk  mencairkan lilin.
Kain putih disampirkan pada suatu gawangan yang terbuat dari bambu atau kayu. Gawangan ini,  menurut kemampuan si pembatik, dapat berbentuk sederhana sekali atau  mewah berukir dengan aneka ragam hiasan. Kadang-kadang pembatik yang  sangat sederhana cukup dengan memangku kain putihnya tanpa gawangan.
Dalam  uraian singkat mengenai cara membatik tradisional akan terlihat  banyaknya istilah bahasa Jawa, khususnya khasanah budaya Surakarta dan  Yogyakarta. Paduan warna dasar yang dipakai pun berasal dari kedua  daerah tersebut di atas, terutama batik sogan.
Pada umumnya proses membatik melalui taraf-taraf sebagai berikut :
1. Pengolahan atau persiapan kain putih
Maksud taraf ini, yang disebut ngethèl atau ngloyor, adalah supaya lilin mudah meresap atau melekat dan tidak terlalu cepat remuk di samping supaya zat warna mudah tembus.
Ngetèl atau ngloyor  ini terutama dibutuhkan pada pemakaian zat-zat warna celup yang berasal  dari tumbuh-tumbuhan, karena warna tersebut lambat penyerapannya.  Dewasa ini, dengan pemakaian zat warna kimia, seringkali taraf ngethèl dipersingkat atau bahkan dilampaui. Ngethèl atau ngloyor dilakukan dengan mencuci kain putih supaya hilang kanjinya, kemudian diremas-remas dan direndam dalam minyak jarak (Ricinus Communis L.) atau minyak kacang tanah (Arachis Hypogala).  Setelah itu, untuk menghilangkan kelebihan minyak, kain direndam dalam  air saring abu merang. Tetapi dewasa ini sudah mempergunakan cara yang  lebih modern, air abu merang diganti dengan larutan soda.
2. Gambaran pertama dengan lilin cair di atas kain
Taraf ini dinamakan ngèngrèng.  Si pembatik; dengan cantingnya yang berisikan lilin cair, mengikuti  garis-garis yang telah diberikan lebih dahulu dengan pensil atau arang.  Suatu unsur yang penting dalam ngèngrèng ini, di samping garis rangka atau klowongan, adalah isèn. Isèn-isèn inilah yang nantinya akan menentukan keindahan dan kelengkapan sehelai batik. Faktor isèn-isèn juga  sering membedakan aneka corak batik dari berbagai daerah di samping  komposisi warna. Pembatik yang pandai hanya memerlukan rangka-rangka  dengan pensil, sedangkan yang kurang mahir akan memerlukan gambaran  lengkap dari pola beserta isèn-isènnya. Pekerjaan menggambar pertama ini diteruskan di sisi dalam kain. Proses ini dinamakan nerusi. Proses nerusi  ini penting karena kain batik harus menampakkan keindahan yang sama di  antara sisi luar dan sisi dalam, sehingga persis seperti dua belah  telapak tangan yang bertepuk keplok.
Taraf nerusi ini juga penting bagi peresapan warna zat pencelup, tetapi dewasa ini sering diabaikan dan orang yang nerusi adalah orang yang berbeda dengan yang membatik garis-garis pertama.
3. Nembok atau mopok (istilah di daerah pesisir Jawa Tengah)
Taraf  ini berupa pekerjaan menutupi bagian yang tidak boleh kena warna dasar.  Jadi seolah membuat suatu tembok pecahan dari lilin yang sudah mengeras  untuk menahan masuknya zat warna sewaktu proses pencelupan. Pekerjaan  ini juga dikerjakan di sisi dalam kain pada batik yang halus.
4. Pencelupan pertama untuk mendapatkan warna dasar biru tua atau medel
Pada batik-batik tradisional yang mewakili zat warna tumbuh-tumbuhan, yang dipakai adalah indigo atau nila (Indigofera Tinctoria L.).  Masing-masing tukang celup atau pengusaha batik mempunyai rahasia  ramuannya sendiri-sendiri yang diwariskan turun-temurun. Berbagai bahan  dimasukkan ke dalam jambangan celup untuk menambah proses ‘peragian’  (seperti : gula kelapa, tapai, pisang kelutuk, sampai dengan  potongan-potongan daging ayam). Semuanya untuk menambah sinar serta  gemilangnya warna biru nila yang sampai sekarang belum terkalahkan  indahnya. Sekarang ini, sebagai akibat pemakaian zat warna kimia, sifat misterius serta romantika pencelupan telah banyak hilang. Mencelup dengan naphtol atau obat anthrasol  memakan waktu hanya sebentar saja tanpa adanya sifat-sifat khas. Oleh  karena itu, untuk dapat menghasilkan kain batik yang tepat warnanya,  masih dapat diperlukan tangan dingin di samping pengetahuan  akan campuran kimia. Oleh karena itulah, proses batik tradisional masih  sepenuhnya dikerjakan dengan tangan.
5. Taraf membuang lilin
Taraf ini disebut nglorod atau ngesik, yakni membuang bagian yang akan diberi warna lagi (biasanya diberi warna coklat atau soga).  Caranya dengan memasukkan kain ke dalam air yang mendidih, atau dengan  cara mengerik dengan benda tajam. Pengerikan sering dilakukan untuk  kain-kain yang sengaja harus mendapat warna dasar kecoklatan, karena  dengan mengerik itu biasanya pembuangan lilin tidak begitu bersih  sehingga masih terdapat lilin yang melekat dan mengakibatkan warna dasar  tidak putih bersih seperti kecoklatan. Pada kain tradisional dari  Surakarta, warna dasar kecoklatan ini justru diinginkan agar tidak  terasa cemplang.
6. Taraf mbironi
Bagian-bagian yang kemudian tidak boleh mendapat warna soga  lalu ditutup kembali, baik sisi luar maupun sisi dalam kain. Setelah  berakhirnya pekerjaan ini, kain batik telah siap untuk mengalami taraf  berikut, yaitu pencelupan dalam soga untuk mendapatkan warna sawo matang.
7. Nyoga atau mencelup dalam zat warna coklat
Soga (Peltophorum Ferrugineum Benth),  yaitu sejenis kayu-kayuan yang dipakai untuk mendapatkan warna sawo  matang. Untuk mendapatkan warna coklat ini diperlukan juga berbagai  campuran, sesuai dengan resep masing-masing yang dirahasiakan, berbeda  menurut daerah atau kota. Setelah dicelup dalam soga dan lilin  kemudian dibuang, sehelai kain batik tradisional telah siap.  Kadang-kadang memang masih diperlukan suatu pekerjaan lagi, yaitu  memberi sarèn, supaya warna coklat itu tetap dan bertambah bagus. Air sarèn terdiri dari air kapur dengan campuran zat tumbuh-tumbuhan. Sering kali pekerjaan memberi sarèn ini oleh beberapa seniman batik dianggap sama pentingnya dengan nyoga.
Berbagai  daerah di pulau Jawa mempunyai corak serta kegemaran yang telah sama  dalam pola serta tata-warna. Daerah Surakarta dan Yogyakarta yang lazim  dianggap sebagai pusat kesenian batik, terkenal karena tata warna biru  tua sebagai warna dasar, coklat serta putih. Meskipun demikian dalam  pemilihan warna putihnya saja kedua daerah yang letaknya sangat  berdekatan itu sudah berbeda. Batik-batik dari Yogyakarta warna putihnya  terang sedangkan di Surakarta warna putih lebih kuning gading bercampur  coklat. Lain pula daerah Banyumas, Tasikmalaya dan Garut. Belum lagi  daerah pesisir seperti Cirebon (dengan keratin-keratonnya seperti  Kasepuhan, Kanoman, dan Kacirebonan), Pekalongan, Demak, Kudus, Lasem,  dan Madura.
Amat  disayangkan ternyata pemakaian zat warna kimia menghilangkan perbedaan  tata-warna kedaerahan. Lagi pula para pengusaha batik saling meniru  tata-warna daerah lain sesuai dengan permintaan pasaran tanpa  mengindahkan kekhasan masing-masing.
Mengingat  gejala ini, perlu kiranya dicari jalan untuk menghidupkan kembali  pemakaian zat-zat warna tumbuh-tumbuhan tetapi dengan mempersingkat cara  pencelupannya. Bukankah Negara kita mempunyai balai penyelidikan  tekstil serta batik? Pasaran luar negeri sangat menggemari warna-warna  alamiah sesuai dengan trend back to nature. Setidak-tidaknya  dalam pemakaian zat warna kimia juga harus dicari kombinasi-kombinasi  yang mencerminkan daya alamiah Indonesia.