Senin, Desember 13, 2010

EMPAT HAL YANG PERLU DIJABARKAN DALAM JUKLAK/JUKNIS JABATAN FUNGSIONAL PAMONG BELAJAR

Posted at 00:28 under PTK-PNF

Ada empat hal yang perlu diperhatikan dalam finalisasi draf petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis jabatan fungsional pamong belajar dan angka kreditnya, yaitu (1) beban kerja 24 jam per minggu; (2) uji kompetensi; (3) standar kualifikasi bidang kependidikan; dan (4) alur serta kriteria penilaian kegiatan pengembangan profesi Pamong Belajar. Hal tersebut diungkapkan Fauzi EP, Ketua Umum PP IPABI dalam kesempatan kegiatan awal Workshop Finalisasi Draf Juklak dan Juknis Jabatan Fungsional Pamong Belajar dan Penilik di Bandung, 4-6 Agustus 2010.
Di samping empat hal tersebut IPABI telah melakukan kajian di Surabaya 31 Juli-2 Agustus 2010 dan masukan yang berupa substansi maupun perbaikan secara redaksional sudah disampaikan kepada Direktorat PTK PNF.

Konon Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Permenpan dan RB) nomor 15 Tahun 2010 tentang Jabatan Fungsional Pamong Belajar dan Angka Kreditnya belum bisa diimplementasikan jika aturan pelaksanaannya (juklak dan juknis) belum diterbitkan.
Oleh karena itulah Direktorat PTK PNF mengebut penyelesaian petunjuk pelaksanaan yang sebenarnya sudah dikerjakan secara paralel dengan pembahasan draf revisi jabatan fungsional pamong belajar. Oleh karena itulah workshop di Bandung ini diselenggarakan agar revisi jabatan fungsional pamong belajar segera dapat disosialisasikan.
Kewajiban beban kerja 24 jam kerja seminggu merupakan hal yang baru bagi pamong belajar sebagaimana diatur dalam pasal 4 ayat 2. Beban kerja 24 jam seminggu meliputi pelaksanaan pokok pamong belajar yaitu (1) kegiatan belajar mengajar; (2) pengkajian program PNFI; dan (3) pengembangan model PNFI. Jadi, beban kerja 24 jam seminggu meliputi ketiga tugas pokok tersebut, bukan beban kerja 24 jam tatap muka atau hanya kegiatan belajar mengajar saja. Ayat ini muncul pada saat-saat akhir ketika Permenpan dan RB akan disyahkan, aturan ini muncul dalam rangka meningkatkan akuntanbilitas kerja pamong belajar kepada publik. Persoalan yang akan muncul adalah bagaimana cara menghitung beban kerja 24 jam dalam satu minggu? Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah mengkonversi angka kredit yang diperoleh dari butir-butir pelaksanaan tugas selama satu minggu ke dalam jam. Untuk itulah hal tersebut perlu dimasukkan ke dalam petunjuk teknis agar pamong belajar serta pemangku kepentingan lainnya dapat memahami.
Selanjutnya memperhatikan draf juklak dan juknis belum diatur mengenai pedoman pelaksanaan uji kompetensi pamong belajar, maka perlu diatur lebih lanjut dalam petunjuk teknis. Namun demikian akan lebih sempurna jika pedoman uji kompetensi pamong belajar diatur tersendiri dalam sebuah peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas), bahkan akan lebih strategis jika dikaitkan dengan kebijakan sertifikasi (kompetensi) Pamong Belajar. Pada diskusi selama workshop berkembang wacana untuk melakukan uji kompetensi tidak seperti sertifikasi guru yang dilakukan dengan pendekatan portofolio namun uji kompetensi dengan pendekatan penilaian kinerja. Mencermati evaluasi terhadap proses sertifikasi guru, maka wacana yang muncul dalam diskusi secara implisit ingin menjadikan uji kompetensi sebagaimana diatur dalam Permenpan dan RB nomor 15 Tahun 2010 pasal 7 ayat 6 sebagai bagian dari kebijakan sertifikasi (kompetensi) Pamong Belajar.
Terkait standar kualifikasi pendidikan sebagai persyaratan pengangkatan pertama kali ke dalam jabatan Pamong Belajar, sebagaimana diatur pada pasal 25 ayat 1 huruf a yaitu sarjana kependidikan, sempat menjadikan kekhawatiran bagi teman-teman Pamong Belajar yang sudah menduduki jabatan. Padahal ayat tersebut mengatur untuk persyaratan kualifikasi akademik untuk pengangkatan pertama kali dalam jabatan baik melalui formasi CPNS maupun pengangkatan dari jabatan lain/staff. Persyaratan kualifikasi pendidikan sarjana kependidikan bagi Pamong Belajar meneguhkan posisinya sebagai pendidik pada jalur pendidikan nonformal sekaligus menegakkan Pamong Belajar sebagai sebuah profesi yang harus memiliki kualifikasi akademik yang spesifik. Kondisi ini akan lebih diperkuat jika konsep pendidikan profesi pamong belajar semakin jelas, dimana sarjana umum dapat menjadi Pamong Belajar asalkan sudah menempuh pendidikan profesi dalam mana ia kemudian akan dianggap memiliki kualifikasi sebagai sarjana kependidikan. Karena dengan menempuh pendidikan profesi pamong belajar sehingga ia memahami filosofi, keilmuan dan metodologi pendidikan nonformal.
Masalah keempat yang dipandang penting oleh PP IPABI dalam mengimplementasikan Permenpan dan RB nomor 15 Tahun 2010, adalah persoalan kegiatan pengembangan profesi. Selama ini tidak ada aturan dan kriteria yang terinci tentang pelaksanaan dan penilaian butir-butir pengembangan profesi, sehingga tidak sedikit menimbulkan multiinterpretasi dalam mana tim penilai memiliki pemahaman yang tidak sama terhadap butir-butir kegiatan pengembangan profesi. Terkait dengan alur penilaian pengembangan profesi yang belum diatur pada jabatan Pamong Belajar tidak sedikit Pamong Belajar yang mengajukan penilaian pengembangan profesi oleh sekretariat TPAK diminta untuk ke LPMP sebagai pelaksana penilaian unsur pengembangan profesi jabatan fungsional guru. Sementara itu LPMP merasa tidak memiliki kewenangan untuk melakukan penilaian unsur pengembangan profesi Pamong Belajar, sehingga pamong belajar merasa diping-pong. Untuk itulah, guna mengeliminir hal tersebut di atas perlu diatur dalam petunjuk teknis tentang alur penilaian di samping kriteria penilaian juga dibuat secara lebih terinci yang kelak dijadikan pegangan bagi Pamong Belajar dan tim penilai angka kredit. (Fauzi EP)